Hukum Jual Beli Via Online di Masjid


Hukum Jual Beli Via Online di Masjid
Hukum Jual Beli Via Online di Masjid
 Sebelum kita membahas tentang hukum jual beli melalui gadget di masjid, kita harus mendudukkan dulu tentang hukum jual beli di masjid. Terkait hukum jual beli di masjid dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat.
1. Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan kalau jual beli di masjid adalah terlarang. Hal ini didasarkan kepada Hadits Abu Hurairah RA:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا رأيتم من يبيع أو يبتاع في المسجد فقولوا لا أربح الله تجارتك وإذا رأيتم من ينشد فيه ضالة فقولوا لا رد الله عليك ( رواه الترميذي )
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: Apabila kalian melihat seseorang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada transaksimu“ dan apabila kamu melihat orang yang mengumumkan barang hilang di masjid maka katakanlah “Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang“. ( HR : Tirmizi no 1321 )
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ini berkata: Abu Isa menyebutkan bahwa Hadits Abu Hurairah ini adalah hasan ghorib. Sebagian ulama menyatakan keharaman jual beli di masjid, semisal Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahiyah. Sementara itu, sebagian yang lain memperbolehkan transaksi jual beli di masjid.
Dalam hadits ini disebutkan ancaman atau doa kejelekan bagi orang yang melakukan transaksi di masjid, baik penjual maupun pembeli. Doa kejelekan dalam hadits ini dipahami oleh para ulama – seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rohiyah – adalah sebagai bukti keharaman transaksi di masjid. Karena kalau seandainya hal ini diperbolehkan, maka tidak mungkin Nabi yang amat sayang kepada umatnya mendoakan kejelekan bagi umatnya. Terlebih jika mengingat bahwa mendoakan kejelekan kepada sesama muslim adalah terlarang.
2. Pendapat kedua yaitu mereka yang berpendapat bahwa transaksi jual beli di masjid sebatas makruh saja, tidak sampai pada keharaman. Pendapat ini diusung oleh jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik. Mereka memahami bahwa doa kejelekan yang ada dalam hadits di atas bukanlah suatu larangan yang bersifat haram, melainkan hanya larangan yang bersifat makruh.

Manakah Pendapat yang Lebih Kuat?
Kaedah Ushul fiqih menyebutkan “al Ashlu fin nahyi lit tahriim“ (hukum asal sebuah larangan itu adalah untuk pengharaman). Maka berdasarkan kaedah ini, pendapat yang menyatakan bahwa pelarangan hadits di atas adalah untuk memakruhkan harus mendatangkan dalil ataupun penjelasan yang menyatakan bahwa larangan di atas bukan digunakan untuk mengharamkan, tapi justru digunakan untuk memakruhkan. Jika tidak bisa mendatangkan dalil ataupun penjelasan atas hal tersebut, maka kaedah umum di atas tetap berlaku.
Tapi perlu diingat bahwa Al Mardawi dalam kitabnya Al Inshaaf juga mengatakan bahwa jika terjadi sebuah transaksi di masjid, maka para ulama sepakat atas sahnya transaksi jual beli tersebut. Larangan jual beli di masjid ini tidak lantas menjadikan transaksi jual beli itu tidak sah, akan tetapi larangan itu menerangkan bahwa si pelaku berdosa, walau jual belinya tetap sah.
Berkenaaan dengan hal ini, Imam Syaukani dalam Nailul Authar (2/167) berkata: Memaknai sebuah larangan dengan pemakruhan harus disertai qarinah(indikasi penguat) yang memalingkannya dari makna hakiki (pengharaman). Hal ini bagi yang berpendapat bahwa larangan itu bermakna pengharaman. Ijma dari mereka yang terkait tidak bolehnya membatalkan jual beli (yang sudah terlanjur terjadi di masjid) dan sahnya jual beli tersebut, bukanlah merupakanqorinah yang memalingkan larangan pengharaman itu menjadi pemakruhan. (Disarikan dari kitab “ I’lamis Sajid bi Hukmil Bay’ wasy Syira’ fil Masjid).

Apakah Transaksi Via Gadget/ Online termasuk Jual beli?
Jual beli menurut Syaikh Yusuf Asy Syibiili adalah tukar menukar harta dengan harta lainnya dengan maksud untuk memiliki. Jadi segala proses tukar menukar, transaksi yang bertujuan untuk saling memiliki, maka proses itu layak disebut sebagai sebuah transaksi jual beli.
Dalam kaedah Ushul disebutkan “al ashlu fil asyya’ al ibahah“ (hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh). Maka dengan pengertian dan kaedah ushul di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi via gadget sah disebut sebagai sebuah transaksi jual beli, selama terpenuhi rukun dan syarat jual beli.
Maka jika transaksi via gadget sah disebut sebagai transaksi jual beli, larangan jual beli di masjid juga mencakup larangan transaksi via gadget. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jual beli via gadget di dalam masjid hukumnya terlarang, berdasarkan pendapat yang mengharamkan. Adapun yang mengambil pendapat yang memakruhkan, maka hukumnya adalah makruh. Dan perlu dicatat, ketentuan hukum tersebut tidak mempengaruhi sah tidaknya jual beli di dalam masjid. Selama syarat dan rukun jual beli terpenuhi, maka hukumnya tetap sah.
Wallahu a’lam bis Shawab.
Ustadz Miftahul Ihsan LC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Heboh.!! Malam Pertama Pengantin Ini di Saksikan Keluarga Besar, Alasannya Mengejutkan

Inilah Penyebab Kenapa Laki-laki Dilarang Memakai Emas! Berikut Alasannya

7 Obyek Wisata Klaten Yang Wajib Dikunjungi